BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
KATA
PENGANTAR
Al Quran dan As-Sunnah adalah nash.
Setiap muslim kapan dan dimana pun dibebani tanggung jawab untuk memahami dan
melaksanakan kandungan dalam bentuk amalan yang nyata. Pemahaman terhadap nash
tanpa pengamalan akan menimbulkan kesenjangan.
Dalam hal inilah, tasawuf dalam pembentukannya
adalah manifestasi akhlak atau keagamaan. Moral keagamaan ini banyak disinggung
dalam Al Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian, sumber pertama tasaawuf adalah
ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari Al Quran, As-Sunnah, dan
amalan-amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat tentu
tidak keluar dari ruang lingkup Al Quran dan As Sunnah. Dengan begitu, jutru
dua sumber utama tasawuf adalah Al Quran dan As Sunnah itu sendiri.
Tasawuf adalah usaha untuk membangun
manusia dalam hal tutur kata, perbuatan, serta gerak hati – baik dalam skala
kecil yaitu pribadi maupun dalam skala yang lebih besar – dengan menjadikan
hubungan kepada Alloh SWT sebagai dasar bagi semua itu.
Sehingga alquran dan hadis, keduanya
merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia, baik bagi mereka yang hidup pada zaman yang masih sangat tradisional,
atau bagi mereka yang mampu mencapai peradaban yang gemilang.
1.2 RUMUSAN
MASALAH
a.
Mengapa
alquran dijadikan sebagai dasar tasawuf?
b.
Ayat-ayat
alquran apa saja yang menjadi dasar tasawuf
1.3
TUJUAN
a.
Mengetahui mengapa alquran dijadikan sebagai
dasar tasawuf
b.
Mengetahui
ayat-ayat alquran yang menjadi dasar tasawuf
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Alquran sebagai dasar tasawuf
Dalam mendefinisikan tasawuf terdapat banyak perbedaan di kalangan
para sufi. Namun perbedaan pendefinisian itu bukanlah hal sepeleh, tapi memang
ada dasar-dasar yang menjadi landasan berfikir para sufi.
Sumber-sumber tasawuf diantaranya adalah:
a.
Alquran
sebagai sumber utama,- berdasarkan seruan alquran untuk bersikap zuhud,
kemudian seruan alquran untuk beribadah dan apresiasi alquran terhadap ilham
b.
Kehidupan
rosululloh sebagai sumber kedua- kezuhudan rosululloh dan kesederhanaanya.
Kemudian ibadah ekstra rosululloh dan apresiasi rosululloh terhadap ilham
c.
Kehidupan
sahabat dan khulafaur rasyidin, sebagai sumber ketiga,- Abu Bakar ash-shiddiq,
Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.
Azas dalam ajaran islam yang paling fundamental adalah ketauhidan
yaitu keyakinan atas keesaan Alloh, yang
tidak bersekutu dan tidak tersamai kekuasaan-Nya. Bagi setiap muslim wajib
meyakini bahwa keseluruhan risalah tuhan terhimpun dalam Alquran, sebuah kitab
wahyu yang diturunkan dari waktu ke waktu selama 23 tahun kepada Nabi Muhammmad
SAW. Alquran akan selalu terjaga keasliannya atau keotentikannya karena Alloh
telah menjaminnya sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya, sesungguhnya
kamilah yang menurunkan alquran dan sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya. (QS. Al-Hijr [15]:9)
Dengan demikian, alquran
merupakan sumber tertinggi di mana para sufi mencari tuntunan dan pembenaran.
Cara pewahyuan alquran ini menjadi daya tarik yang luar biasa oleh para sufi,
karena telah terbukti nyata bahwa Alloh dengan cara khusus telah berfirman
langsung pada seorang manusia yang bernama Muhammad Ibn Abdillah, yang diangkat
sebagai utusan-Nya. Para sufi juga menyadari mengapa Nabi Muhammad sangat
dimuliakan oleh tuhan, hingga mampu secara terus-menerus berhubungan dengan
tuhan, sepanjang masa kerasulannya. Dengan begitu para sufi terdorong
dengan sungguh-sungguh untuk menelaah
kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad sejak awal islam selalu dikelilingi oleh
pengikut-pengikut setianya, yang senantiasa berusaha mengikuti sikap dan
perilaku, jejak dan langkah, keshalihan, kezuhudan, ketawadhuan, kekuatan
dzikir, dan ketekunan ibadah nabi, sehingga mendapat anugerah dan karunia tuhan
yang tak terbatas. Mereka para sufi sangat merindukan itu semua, sehingga
berharap dapat diberikan anugerah dari tuhan untuk bisa dipilih oleh
auliya’-Nya.
Para sufi yang mendambakan sekali kemuliaan dan kemesraan seperti
itu- sangat tekun mempelajari sikap dan perilaku para wali-wali Alloh, baik
dalam komunitas masyarakat atau secara individu, misalnya dengan meresapi sikap
dan perilaku, kata-kata bijak atau kata-kata hikmah, dengan syair ruhani dan
cinta samawi ajaran mereka. Akhirnya karena ketaatan dan kepatuhan mereka
terhadap ajaran tuhan, dengan tuntunan firman Alloh, dengan sunnah nabinya, dan
keteladanan para wali yang hidup zuhud, wara, banyak berdzikir, banyak tafakur,
penuh kesadaran kefanaan duniawi, maka para sufi itu sendiri memperoleh
“tanda-tanda ilahiyah” yang dianugerahkan oleh Alloh kepada mereka, melalui
tahapan-tahapan atau maqam dan kemudian Hal pada masing-masing
sufi. Ahwal sifatnya jamak, dan hal sifatnya tunggal, adalah
suasana atau kondisi ruhaniah yang luhur dalam perjalanan spiritual. Dengan hal
inilah seorang sufi memperoleh bukti dan pengalaman tentang hubungan
istimewanya dengan tuhan, dan inilah yang disebut sebagai karamah.
Karamah adalah suatu
ke-waskitaan yang luar biasa dari seorang sufi. Namun demikian, karomah maupun khawariqul
‘adah bukanlah tujuan utama dari sufi. Ada tujuan yang jauh lebih utama
dari hal itu. Bahkan seorang ilmuwan sufi dari Mesir bernama Abdul Halim Mahmud
mengatakan, “… kalau masalah karomah itu bukanlah sesuatu yang menjadi
kepedulian para sufi, hal semacam itu oleh sufi dianggap sepele saja. Sehingga
bila seorang sufi sudah puas dengan karamahnya, itu berarti dia sudah berhenti
dan tidak ada kemajuan yang patut dibanggakan.”
Jelas bahwa tasawuf tidak bisa dipisahkan dari keseluruhan agama.
Bahkan jika tasawuf itu adalah disiplin yang berurusan dengan batin, maka
berarti juga merupkan inti dari keagamaan atau religiusitas yang bersifat
esotherik.[1]
Dari pengertian ini maka ilmu tasawuf
tak lain merupakan penjabaran secara nalar atau teori ilmiah tentang apa
sebenarnya taqwa. Penjabaran atau penjelasan mengenai taqwa selalu dikaitkan
dengan ihsan. Dalam hadis nabi dikatakan, ihsan adalah bahwa engkau menyembah
tuhan seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka
(engkau harus menyadari bahwa) Dia melihat engkau.
Hadis ini sejalan dengan firman Alloh, “Dan sembahlah tuhanmu,
sehingga datang kepadamu keyakinan.”[2]
Karena itu pengajaran tasawuf hendaknya ditanamkan kepada jiwa
anak, sehingga terjadi kesadaran pada mereka akan hadirnya tuhan dalam
kehidupan manusia, dan kesadaran bahwa tuhan selalu mengawasi segala tingkah
laku kita.
Ke mana pun kamu menghadap, maka disanalah wajah tuhan.[3]
Dia beserta kamu, kemanapun kamu berada, dan Dia mengetahui segala
sesuatu yang kamu perbuat.[4]
Dari segi ini akan tampak jelas betapa eratnya rasa ketuhanan,
taqwa, ihsan, atau religiusitas dengan rasa kemanusiaan, amal sholikh, akhlaq,
dan budi pekerti, atau tingkah laku ethis. Juga tampak kaitan antara aspek
lahir juga aspek batin.
Alquran memuat berbagai firman yang merujuk kepada pengalaman
spiritual nabi. Misalnya gambaran tentang dua kali pengalaman bertemu dan
berhadapan dengan malaikat Jibril dan Alloh. Yang pertama ketika Nabi menerima
wahyu pertama di Gua Hira’, di atas bukit cahaya atau Jabal Nur. Dan yang
kedua, ialah pengalaman beliau dengan perjalanan malam (isra’) dan naik ke
langit (mi’raj) yang terkenal itu.
Bagi kaum sufi, pengalaman Nabi dalam Isra Mi’raj itu adalah sebuah
contoh puncak pengalaman ruhani yang
bisa dialami oleh seorang Nabi. Namun kaum sufi berusaha meniru dan
mengulanginya bagi mereka sendiri, dalam dimensi, skala, dan format yang
sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab inti pengalaman itu adalah penghayatan
yang kuat terhadap situasi diri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan
bagaimana ia bertemu dengan Dzat yang maha tinggi itu.
2.2 Ayat-ayat alquran yang
menjadi dasar tasawuf
Dari alquran, para sufi mengambil pemikiran-pemikiran tentang hubungan
antar manusia dengan tuhannya, juga mengenai etika, tindakan, olah diri atau
riyadhoh sebagai jalan mendekatkan diri kepada Alloh. Thusi telah menjelaskan
pada kita dalam kitabnya yang berjudul al-Luma[5]
bahwa para sufi senantiasa melakukan akhlak yang terpuji, mengkaji arti kondisi
dan keutamaan amal perbuatan, karena mensuri tauladani nabi, sahabat, dan
pengikutnya. Ini semua menurutnya ada dalam kitab suci Alquran[6].
Hakikat tasawuf adalah mendekatkan diri pada Alloh. Hal kedekatan
ini disebutkan Alloh dalam Alquran:
وإذا سألك عبادي
عني فإنى قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان فليستجيبوا لي واليؤمنوا بي لعلهم يرشدون.[7]
Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku sangat dekar
dan mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku dipanggil.
Alloh dalam ayat itu mengatakan bahwa ia dekat kepada manusia dan
mengabulkan permintaan bagi setiap peminta. Maka kaum sufi mengartikan doa di
sini bukan sekadar berdoa, melainkan berseru agar tuhan mengabulkan seruannya
untuk melihat tuhan dan berada dekat dengan-Nya. Dengan kata lain, ia berseru
agar tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang
kedekatan dan pengabulan penampakan wajah tuhan itu, dikemukakan dalam Alquran:
ولله المشرق و
المغرب فأينما تولوا فثم وجه الله إن الله واسع عليم .[8]
Timur dan barat itu kepunyaan Alloh, kemana pun saja kamu
berpaling, di situ kamu menemukan wajah Tuhan.
Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai.
Tuhan sangat dekat dan sang sufi tidak perlu pergi jauh-jauh untuk menjumpai
tuhan. Ayat yang lebih tegas mengenai kedekatan manusia dengan Tuhan, bahkan
lebih menyatakan realitas Tuhan yang berada dalam diri manusia adalah:
ولقد خلقنا
الإنسان ونعلم ما توسوس به نفسه ونحن اقرب اليه من حبل الوريد .[9]
Telah kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan
dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepada manusia dari pada urat pembuluh
darah yang ada di lehernya.
Dari penjelasan mngenai hubungan manusia dengan tuhannya itu,
menciptakan sebuah jalan[10]
bagi para sufi untuk mendekatkan diri kepada Alloh yang diawali dari memerangi
hawa nafsu. Seorang menempuh jalan itu secara bertingkat dan akan mengalami
fase-fase yang berbeda yang dikenal dalam kalangan sufi sebagai maqomat (tingkatan-tingkatan
spiritual) dan ahwal (kondisi), yang akhirnya tingkatan dan kondisi
tersebut berakhir pada pengetahuan terhadap Alloh. Itu merupakan ujung dari
jalan tersebut. Contoh dari maqom-maqom tersebut adalah taubat, wara’, zuhud,
fakir, sabar, ridho, tawakkal, dan lain sebagainya.
Sedangkan hal adalah pengawasan diri, kedekatan, kecintaan,
ketakutan, harapan, kerinduan, kegembiraan, ketenangan, yakin, dan lain
sebagainya.
Para sufi membedakan secara terperinci mengenai maqom dengan
hal. Maqom menurut mereka bercirikan sebuah ketetapan, sedangkan hal
adalah mudah hilang. Keseluruhan maqomat
dan hal para sufi merupakan objek-objek yang bersandarkan pada Alquran.
Oleh karena itu, kami akan mengungkapkan ayat-ayat alquran yang dijadikan dasar
maqomat dan hal tersebut. Misalnya dalam hal memerangi hawa nafsu yang
merupakan awal jalan menuju Alloh, bersandar pada firmannya: “dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridoan) kami, benar-benar akan kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sesungguhnya Alloh benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.”[11]
Dan firman Alloh: “dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya
surgalah yang menjadi tempat tinggalnya.”[12]
Dan juga firman Alloh: “sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan.”[13]
Sedangkan maqom taqwa bersandar pada firman Alloh: “sesungguhnya yang
paling mulia di sisi Alloh adalah yang paling takwa diantara kalian”[14]
Para sufi pun juga menyandarkan
maqom zuhud pada ayat alquran: “katakanlah! Bahwa
kesenangan-kesenangan dunia adalah sedikit, sedangkan akhirat adalah lebih baik
bagi orang yang bertakwa.”[15]
Dan para sufi menyandarkan maqom tawakal pada ayat
alquran “dan barang siapa yang bertawakal kepada Alloh niscaya Alloh akan
mencukupkan kebutuhannya.”[16]
Dan pada ayat: “kepada Alloh lah orang-orang beriman berserah diri.”[17]
Dan para sufi menyandarkan maqom syukur pada ayat
alquran: “jika kalian bersyukur, niscaya aku akan menambhkannya.”[18]
Sedangkan maqom sabar, para sufi menyandarkannya pada
ayat Alquran, “bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu
melainkan dengan pertolongan Alloh.”[19]
Dan “berikanlah berita-berita gembira pada orang-orang yang sabar.”[20]
Sedangkan maqom ridho disebutkan pula dalam firman
Alloh: “Alloh ridho terhadapnya , itulah keberuntungan yang paling besar.”[21]
Dan maqom haya’ (rasa malu) yang berlandaskan pada
ayat: “tidakkah dia mengetahui bahwasanya sesungguhnya Alloh melihat segala
perbuatannya?”
Terdapat maqom fakir yang diartikan sebagai
membutuhkan Alloh. Menurut para sufi maqom ini berlandaskan pada ayat
Alquran yang berbunyi: “(berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat
(oleh jihad) di jalan Alloh.”[22]
Dan ayat: “Allohlah yang maha kaya, sedangkan kamu kamulah orang-orang yang
berkehendak kepada-Nya.”[23]
Dan terdapat pula maqom kecintaan antara hamba dengan
tuhannya. Ia dinyatakan secara jelas dalam Alquran: “hai orang-orang yang
beriman, barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya,maka kelak Alloh
akan mendatangkan suatu kaum yang Alloh mencintai mereka dan mereka pun
mencintaiNya.”[24]
Sedangkan hal juga berlandaskan pada Alquran. Misalnya dalam
kondisi takut, maka dapat dilandaskan pada firman Alloh: “dan mereka selalu
berdoa kepada rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka
menafkahkan apa-apa rezeki yang kamu berikan.”[25]
Dan kondisi berduka yang berlandaskan pada ayat: “dan mereka
berkata, segala puji bagi Alloh yang telah menghilangkan duka cita dari kami.”
Bahkan olah diri (riyadloh) sebagian para sufi, terutama yang
paling urgent yaitu dzikir, dapat ditemukan pula sumbernya dari Alquran: “hai
orang-orang yang beriman, berdzikirlah dengan menyebut nama Alloh, dzikir yang
sebanyak-banyaknya.”[26]
Doa bagi para sufi yang merupakan bagian dari olah diri yang
terbentuk dari adab-adab juga berlandaskan pada firman Alloh yang sangat
banyak. Misalnya adalah: “Berkatalah tuhan kalian! Berdoalah kepadaku,
niscaya aku akan mengabulkannya.”[27]
Dan firman Alloh: “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam
kesulitan apabila ia berdoa kepadanya.”[28]
Dari pemaparan di atas, tampak bahwa benih pertama tasawuf islam, dari hubungan manusia dengan tuhannya,
tinjauan dirinya sebagai ilmu tentang maqomat dan hal sudah ada
dalam Alquran. Dengan demikian dari tinjauan kemunculannya yang pertama adalah
berasal dari Alquran. Sebagaimana Alquran adalah sumber utama para sufi
membentuk kesufiannya, maka kehidupan nabi dari segi penyembahannya, etika, dan
perkataan-perkataannya, tak lain juga merupakan salah satu sumber dari beberapa
sumber tasawuf .
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Ø
Ada
beberapa macam sumber tasawuf, diantaranya adalah :
a.
Alquran
sebagai sumber utama
b.
Kehidupan
Rasululloh sebagai sumber kedua
c.
Kehidupan
sahabat dan khulafaur rasyidin sebagai sumber ketiga
Ø Alquran sangat istimewa sehingga diturunkan di muka bumi ini juga
pada hambanya yang istimewa, Muhammad SAW.
Ø Alquran sebagai sumber tasawuf tertinggi di mana para sufi mencari
tuntunan dan pembenaran
Ø Dari alquran, para sufi
mengambil pemikiran-pemikiran tentang etika, tindakan, olah diri, sebagai jalan
untuk mencapai tujuannya dalam kehidupan tasawuf
[1]
Dimensi kebatinan
[2]
. QS. Al-hijr [15]: 99
[3]
. QS. Al-baqarah[2]: 15
[4]
. QS. Al-hadid[57]: 4
[5]
Kitab al-Luma hal 31
[6]
Kitab al-Luma hal 32
[7].
QS. Al-baqarah [2]: 186
[9]
. QS. Qaaf: 16
[10]
Tharik, dari tinjauan bahasa adalah sesuatu yang dijadikan jalan oleh kaki. Dan
dijadikan kata kiasan untuk menyatakan segala sesuatu yang dilakukan oleh
manusia, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk (Al ashfahani, mufrodat
ghoribul quran).
[11]
. QS. Al-ankabut: 69
[12]
. QS. An-naziat: 41-42
[13]
. QS Yusuf: 53
[14].
QS. Al-hujarat: 13
[15]. QS. An-nisa:77
[16]
. QS. Talaq: 31
[17]. QS. At-taubah:
[18]
. QS. Ibrahim: 7
[19].
QS. An-nahl: 127
[20].
QS. Al-Baqarah: 155
[21]
. QS. Al-maidah: 119
[22]
. QS. Al-baqarah: 273
[23]
. QS. Muhammad: 38
[24]
. QS. Al-maidah: 54
[25]
. QS. As-sajdah: 16
[26]
. QS. Al-ahzab: 41
[27]
. QS. Ghafir: 60
[28]
. QS. An-naml: 62